QURBAN secara etimologis berarti dekat. Prosesi ibadah qurban dilakukan umat islam dengan melaksanakan penyembelihan hewan kurban (udlhiyah) pada saat hari raya Idul Adha dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian qurban dapat dipahami sebagai media untuk mengantarkan seorang hamba agar lebih dekat kepada Tuhannya.
Menarik untuk ditemukan jawaban, apa relevansi mendekatkan diri kepada Tuhan dengan penyembelihan hewan kurban? Apakah dengan melaksanakan kurban seorang hamba telah benar-benar dekat dengan Tuhannya? Untuk menjawab pertanyaan diatas, kita perlu menelusuri sejarah disyariatkannya ibadah kurban.
Perintah untuk berkurban bahkan telah dimulai sejak awal peradaban manusia. Dua putra Adam yakni Qobil dan Habil diperintahkan untuk mempersembahkan hasil pertanian dan peternakan mereka sebagai bentuk pengabdian dan rasa syukur. Namun perintah itu disikapi berbeda, Habil mempersembahkan yang terbaik dari hewan ternaknya sementara Qobil memberikan hasil pertaniannya yang sudah rusak dan jelek. Maka Allah pun hanya menerima persembahan Habil dan menolak persembahan dari yang lainnya. (QS. Al-Maidah : 27)
Sejarah kurban menjadi fenomenal ketika Nabi Ibrahim as mendapat perintah dari Tuhan untuk menyembelih putranya Ismail. Perintah yang tak lazim ini sempat membuat ia bimbang apakah benar datang dari Tuhan atau hanya sekedar bunga mimpi belaka. Perintah inipun akhirnya dilaksanakan setelah mendapat kepastian kebenarannya dari Allah SWT. Karena kesungguhan dan keikhlasan keduanya melaksanakan perintah, lalu Allah mengganti sembelihan itu dengan seekor domba besar (QS. As shaffaat : 102-107).
Pada masa Islam, Kurban ditetapkan menjadi ibadah tersendiri dengan menyembelih hewan kurban untuk kemudian mendistribusikan sembelihan tersebut kepada fakir miskin dan orang- orang yang membutuhkan.
Hewan kurban merupakan simbol harta kekayaan yang dicintai. Oleh sebab itu di balik perintah berkurban tersimpan makna bahwa untuk dekat dengan Allah SWT seseorang harus rela berkorban dengan menghadirkan yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Hal inilah yang telah ditunjukkan oleh Habil sehingga persembahan kurbannya dapat diterima. Demikikan juga terhadap Ibrahim, demi menjalankan perintah, anak semata wayang yang paling disayangi ia relakan untuk disembelih. Padahal untuk kelahiran putra satu satunya itu Ibrahim telah sangat lama menunggu dan merindukan kehadirannya.
Ismail lahir setelah Ibrahim berumur seratus dua puluh tahun sementara istrinya Siti Hajar berusia sembilan puluh sembilan tahun. Kelahiran Ismail pun sempat membuat keduanya merasa kaget dan heran, setengah tak percaya apa mungkin mereka akan mendapatkan keturunan (QS. Hud:72). Ismail sendiri berasal dari bahasa Ibrani yang seakar dengan bahasa arab dari kata sami’a yang berarti mendengar. Yakni anak yang dilahirkan setelah Tuhan mendengar doa panjang yang dipanjatkan Ibrahim.
Ibadah kurban sama seperti ibadah haji bersifat simbolik. Didalamnya terkandung beberapa makna spiritual yang amat dalam. Pertama, ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dengan mempersembahkan harta yang terbaik. Melalui ibadah kurban seseorang berusaha mencari pendekatan dengan menyambung hubungan vertikal yang bersifat transendental kepada sang pencipta. Kedua, sebagai ungkapan cinta kasih dan rasa simpatik kepada kaum lemah dan papa. Anjuran untuk membagi-bagikan daging kurban kepada fakir miskin sebagai manifestasi bentuk kepedulian sosial. Dengan berkurban seseorang telah membangun hubungan horisontal yang baik kepada sesama manusia. Ketiga, simbol dari kesediaan untuk melawan dan mengenyahkan sesuatu yang dapat menjauhkan diri dari jalan Allah.
Harta, kekayaan, kedudukan dan pangkat seringkali membuat orang silau dan cenderung materialistik. Gaya kehidupan semacam ini dapat membawa orang kepada sikap individualistik yang tak peka terhadap nasib sesama. Maka melalui ibadah kurban seseorang telah berkomitmen untuk meraih ridha Allah dan telah membuktikan dirinya tidak terpedaya oleh godaan cinta harta.
Kurban bukanlah untuk menjadikan hewan sembelihan itu sebagai upacara persembahan yang dihidangkan pada altar pemujaan atau diletakkan dibawah pohon besar sebagai sesajen, melainkan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur yang mendalam untuk kemudian dagingnya dapat dinikmati oleh orang yang berkurban itu sendiri maupun untuk orang lain yang membutuhkan.
Ibadah ritual yang simbolis ini disamping menyiratkan makna spritual untuk senantiasa menjaga hubungan vertikal antara hamba dengan Tuhannya, juga mengisyaratkan perlunya membangun hubungan horisontal antar sesama manusia. Dengan demikian anjuran untuk membagika daging kurban kepada orang lain dapat dimafhumkan sebagai anjuran untuk membangun relasi sosial dengan saling berbagi agar tercipta harmonisasi kehidupan. Selaras dengan pemahaman ini, Allah telah menegaskan bahwa bukanlah daging dan darah hewan kurban itu yang sampai kepada Allah, akan tetapi cahaya ketaatan dan ketaqwaan yang terpancarkan melalui ibadah kurban itulah yang membuat seseorang sampai kepada tuhannya. (QS. Alhajj:37).
Sebagai sebuah simbol, perintah kurban haruslah bertransformasi ke ranah kehidupan yang lebih luas. Kurban tidak akan menemui esensinya andaikan hanya dipahami sebagai ibadah ritual tahunan pada saat menjelang Idul adha saja tanpa menumbuhkan semangat rela berkorban untuk mensyiarkan agama Allah. Sehingga apapun bentuknya sebuah pengorbanan, baik berupa harta, ilmu, pikiran dan tenaga yang dapat memberikan manfaat untuk orang lain asal dilakukan dengan kesungguhan hati dan keikhlasan semata karena Allah dapat mengantarkan seseorang menjadi lebih dekat kepada Tuhannya.
Ibadah kurban telah mengajak setiap orang Islam untuk menunjukkan nilai pengorbanannya sebagai wujud pengabdian kepada Tuhan dan kepedulian kepada sesama. Pada dimensi individual seseorang yang berkurban telah melaksanakan syiar agama, sementara pada dimensi sosial seseorang yang berkurban sesungguhnya telah berusaha membangun solidaritas antar sesama. Disisi lain kurban juga merupakan pembuktian diri untuk tidak terpengaruh oleh faktor kebendaan semata. Apabila ketiga unsur ini yakni pengabdian, kepedulian sosial dan pembuktian diri dapat teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari maka seorang hamba telah benar- benar dekat dengan Tuhannya.
Dalam Ibadah kurban kita dituntun untuk tidak hanya menjaga ketaatan secara pribadi kepada Allah, namun dituntut untuk menghadirkan kemanfatan diri bagi sesama manusia. Orang yang terbaik diantara kita adalah orang yang paling banyak manfaatnya kepada manusia lain, demikian nabi berkata.(*)